Monday 10 July 2017

RESENSI BUKU 2016 "ANDAI AKU HIDUP SEKALI LAGI"

http://kelincihidupdimanasaja.blogspot.my/2016/12/resensi-buku.html


Jika Api Telah Menjadi Abu

Oleh NATIA ISTIANAH


Identitas Buku

Sumber Foto: Google
Penulis : Muhammad Widus Sempo
Penerbit: Mizania
ISBN: 978-602-418-019-5
Cetakan: I, April 2016
Tebal : 168 Halaman

“Kebodohan dan penyesalan adalah dua sifat yang saling menyertai. Hukuman adalah siksaan, dan siksaan mengisyaratkan penghinaan yang mengiris.” –Abu Al-Fadhl Ahmad ibn Muhammad Al-Nisaburi (hal. 11)
Setiap orang ingin cuci tangan atas perbuatannya. Jika perbuatan dosa itu menghendaki balasan, mereka ingin para penguasalah yang dihukum, bukan mereka. Semuanya akan lari, menjauh diri dari pertanggung jawaban. Namun Allah Maha melihat, keadilan Allah tidak buta untuk menyeimbangkan segala perbuatan manusia.
Buku Andai Aku Hidup Sekali Lagi karya Muhammad Widus Sempo ini membahas secara lugas tentang penyesalan orang-orang terdahulu akan seruan Allah.Buku ini juga mengajak kita untuk berimajinasi, memutar memori kita, dengan mengikuti alur pemaknaan Al-Quran yang indah dan apik. Membaca buku ini membuat pikiran kita terbayang betapa mirisnya perilaku orang-orang terdahulu, emosi pun terkadang ikut hadir kala membaca para pendusta kenabian, disamping menggugah perasaan tangis saat membacanya, buku ini juga mengajarkan kita agar sebagai manusia selalu membuka matanya akan mini layar kehidupan dunia ini yang nantinya menjadi gambaran nyata di layar lebar akhirat dan akan ditayangkan segala cerita akhir hidup orang-orang yang mengingkari agama Allah. Tak lain dan tak bukan mereka ini adalah orang-orang yang menyesal dan merugi karena perbuatannya sendiri. Semua jejak hidupnya telah direkam oleh ayat-ayat penyesalan Al-Quran.
Dalam buku ini terdapat lima belas sub judul yang akan menggugah hati para pembacanya. Bagian pertama, membahas tentang kebodohan dan penyesalan. Bagian ini menceritakan tentang pengadilan Ilahi kelak, orang-orang yang mendustakan kebenaran agama akan saling menuduh. Rakyat jelata menuding pembesarnya sebagai biang keladi atas akhir hidupnya yang sengsara, sedangkan seorang hamba mendakwa tuannya sebagai dalang atas nasibnya yang malang di neraka.
Bagian kedua, menceritakan tentang pemilik kekayaan atau penguasa yang tamak akan hartanya dan enggan berbagi rezeki kepada fakir miskin. Bagi mereka, fakir miskin tidak mempunyai hak untuk meletakkan tangan mereka di atas rezeki si penguasa.
Bagian ketiga, mengingatkan kita akan kefir’aunan Fir’aun sebagai simbol kejahatan yang mendunia, akar-akar kezalimannya menjadi peringatan kehidupan sepanjang zaman.
Bagian keempat, bercerita tentang Qarun dan harta kekayaannya yang menjadi simbol keangkuhan, ketamakan, dan pembangkang terhadap kebenaran dakwah kenabian.
Bagian kelima, menggambarkan penyesalan orang-orang yang enggan berinfak, yang tidak ingin menafkahkan hartanya di jalan Allah. Padahal terdapat kutipan penegasan dalam hadis-hadis kemuliaan infak yang jelas bahwa ‘Sedekah meredam dosa seperti air meredamkan api’.
Bagian keenam, menceritakan sebuah obsesi keluarga Imran yang ingin memiliki anak laki-laki untuk menjalankan misi di jalan Allah.
Bagian ketujuh, membahas tentang pengajaran yang mengingatkan kita bahwa kejahatan itu seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan.
Bagian kedelapan, menceritakan sikap tawakalnya nabi Yusuf yang selalu melegenda, dan mengingatkan kita tentang suatu pertanyaan ‘sudahkah berarti hidup kita terhadap dunia Islam?’
Bagian kesembilan, bercerita tentang dua sahabat yang salah satunya selalu mendengarkan nasihat-nasihat sahabatnya tanpa memikirkan akibatnya. Keakraban yang terjalin menjadikannya buta dalam melihat hidayah.  
Bagian kesepuluh, penulis mengajak para pembacanya untuk merenungkan diri sejenak kisah tentang keangkuhannya anak panah setan, dan manusia yang penuh dengan kerendahan hati.
Bagian kesebelas, menceritakan tentang rekam Al-Quran yang mengisahkan penyesalan orang-orang munafik kala umat Islam menang perang.
Bagian keduabelas, dalam sub ini penulis memaparkan tentang kawan hina orang-orang terdahulu yang bermuka dua dan menceritakan seorang biang keladi kesesatan. Selanjutnya, rekam Al-Quran yang mengisahkan penyesalan para pendusta agama dapat ditemukan dalam sub ketigabelas. Sub selanjutnya, menceritakan tentang penghuni neraka yang menerima kitab amal dengan tangan kiri.
Lalu Sub judul yang terakhir berisikan tentang rekam Al-Quran akan penyesalan orang-orang yang mengingkari kiamat besar.
Dalam buku ini terdapat poin-poin penting di setiap judulnya yang sangat bermanfaat  untuk pelajaran hidup para pembacanya di kemudian hari. Dari buku ini juga setidaknya para pembaca bisa terbuka hatinya selebar mungkin untuk sadar. Seperti kata penulisnya, bahwa ada saatnya ketika penyesalan tak lagi berguna, saat ajal dan siksa akan menimpa, yakni saat hari Kiamat itu tiba. Maka menyesal saat kayu api telah menjadi abu demi menangisi akhir hidup yang  menyengsarakan adalah sebesar-besar kesia-siaan.  
Terlepas dari kekurangan yang ada, dan kelebihan dalam ulasannya yang sangat menyentuh hati. Buku ini layak dijadikan teman duduk setia para pembaca untuk meningkatkan kesadaran kita dalam menjalani kehidupan dan mengingatkan kita bahwa penyesalan di dunia tidak setara dengan penyesalan di akhirat.
                                                                          

No comments:

Post a Comment