Wednesday 21 December 2016

Penyesalan Petani-Petani Kebun di Kota Dhârâwân

Dr. Muhammad Widus Sempo

Ilustrasi - Petani. (inet)“Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan). Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)’. Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka, ‘Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)? Mereka mengucapkan, ‘Mahasuci Tuhan kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhalim.’ Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela-mencela. Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas’. Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.” (Q.s. al-Qalam [68]: 26-32)
Abu al-Atâhiyah, Ismail bin Qâsim bin Suwaid al-Ainî al-Anzi berkata, “Andai saja masa muda ini bisa kembali meski sehari, maka saya akan memberitahunya apa yang telah diperbuatnya terhadap si pemilik uban ini. (Ar-Râgib al-Ashfahâni, al-Husain bin Muhammad, Muhâdhrât al-Udabâ’ wa Muhâwarât as-Syuarâ’ wa al-Bulagâ’).
Di kota Dhârâwân, sekitar 2 farsakh dari Sanaâ’, ibu kota Yaman seperti yang dinukil Syekh ibnu Asyur di“at-Tahrîr wa at-Tanwîr, ”Barisan-barisan kebun terlihat rapi seperti gigi-gigi sisir yang berjejer sama rata. Kebun-kebun itu indah memukau dengan hiasan aneka ragam tanaman hijau yang tumbuh mengelilingi pohon-pohon kurma atau hidup di sela-sela pelepah kurma yang rindang. Di saat panen raya tiba, para petani kebun melangkahkan kaki setapak demi setapak menuju kebun-kebun mereka dan bersumpah sarapah kali ini untuk tidak mengikutsertakan fakir-miskin, atau tidak memberikan hak mereka dari zakat perkebunan.
“Di pagi esok hari yang cerah, kita berpesta raya memanen. Tidak ada satu pun dari fakir-miskin yang ikut kali ini. Mereka tidak berhak mencicipi satu biji kurma pun dari hasil petik kebun-kebun itu, apalagi mengulurkan tangan meminta zakat seperti hari-hari kemarin.” Tegas para pemilik kebun.
Tanpa sadar, kebun-kebun mereka dilahap si jago merah. Semuanya hangus terbakar. Tidak ada yang tersisa kecuali abu hitam yang menghembuskan ketakutan seperti malam yang gelap gulita.
Mereka tidur nyenyak dan bermimpi indah di pagi hari untuk memetik satu persatu dari hasil-hasil tanaman mereka yang menjanjikan kesejahteraan hidup dan kejayaan duniawi.
“Wahai saudara-saudaraku! Cepat-cepatlah bangun dan siapkan bekal makanan dan minuman yang cukup untuk mengisi stamina kita yang akan terkuras dikala sedang memetik hasil kebun.” Tegas mereka.
Dengan harapan dan penuh semangat, mereka pun beranjak dari tempat duduk dan berjalan pelan-pelan seperti konvoi semut yang nyaris tidak terdengar suaranya. Mereka tidak ingin didengar fakir-miskin, apalagi jika mereka ikutserta menyaksikan panen raya. Dengan volume suara yang rendah, mereka berkata, “Hari ini kita akan berpesta pora. Jangan biarkan satu pun dari mereka (fakir-miskin) menyelinap di tengah-tengah kalian, apalagi ikut serta memetik pohon kurma kalian. Kita mampu kali ini mencegah dan mengusir mereka.” Bisik niat jahat mereka yang busuk.
Tidak lama kemudian, mereka pun tiba. Tetapi dikejutkan dengan fenomena histeris. Mata bulat mereka melotot tajam meratapi nasib kebun-kebun yang terhampar hangus. Kini, yang tersisa hanyalah debu hitam yang beterbangan menari-nari ke sana ke mari menerpa muka mereka yang masam. Sungguh menyakitkan!
“Sungguh kita telah tersesat jauh. Bukan hanya itu, tetapi kita pun tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil panen raya kebun-kebun itu.” Dialog mereka dengan penuh penyesalan yang tidak berguna.
“Bukankah saya pernah mengingatkan Anda sekalian untuk memuji Tuhan dan tidak memalingkan muka dari fakir-miskin yang punya hak atas harta-harta kalian seperti pada panen raya kali ini?” Kata salah seorang dari mereka yang berpendidikan.
Dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah, mereka berkata, “Mahasuci Tuhan kami. Sesungguhnya kami telah menzhalimi diri sendiri.”
Namun, nasi telah jadi bubur dan gelas teh pun telah tumpah membasahi lantai. Tidak ada yang tersisa kecuali air mata penyelasan saja yang hampa.
Akhirnya, mereka saling mencela, menuding dan mencari kambing hitam dari musibah buruk ini. Semua itu tidak berarti karena yang telah hancur seperti ini dengan kehendak Allah tidak akan mungkin diperbaiki kecuali dengan tobat dan istighfar.”
Bediuzzaman Said Nursi berkata, “Kemarau panjang merupakah musibah, cobaan dan balasan ulah manusia. Olehnya itu, sepatutnya disikapi dengan berserah diri kepada Allah, berdoa dengan penuh perasaan kehambaan murni yang disertai tangisan, kesedihan, kepasrahan, penyesalan, taubat nasuhah dan istighfar dari segala dosa.
Musibah-musibah umum seperti ini –yang disebabkan oleh dosa kebanyakan manusia- dapat dihindari dengan taubat, penyesalan dan istighfar secara berjamaah.” (Mulhaq Amîrdâq)
Setelah letih tuding-menuding, dengan rasa putus asa mereka berkata, “Celakalah kami, sesungguhnya kami telah melampaui batas.”
Yah, mereka tidak mengenal batas-batas syariat. Dalam rezeki mereka terdapat nasib fakir-miskin. Di pundak mereka penderitaan umat dibebankan. Namun, bagi mereka, persoalan sungguh beda. Bagi mereka, fakir-miskin tidak punya hak untuk meletakkan tangan mereka di atas rezeki itu. Penderitaan penderitaan mereka dan pemilik properti dan kekayaan tidak punya tanggungjawab sedikit pun untuk meringankan beban mereka. Dunia terlihat terbalik di kaca mata kehidupan mereka. Dengan angkuh mereka berkata, “Duniaku bukan duniamu, dan duniamu bukan duniaku. Yang penting saya bahagia dan sejahtera, meski Anda menjerit kesakitan dalam penderitaan.”
Setelah menyadari kesalahan mereka dan menumpahkan penyesalan yang mendalam, dengan penuh belaskasih mereka merengek-rengek mengharap, “Semoga Allah menukar kebun-kebun kami yang terbakar hangus dengan kebun-kebun yang lebih baik dan indah.”
Demikianlah pelajarn berharga dari dalah satu segmen dalam al-Qur’an yakni surat al-Qalam [68] ayat 17-33 yang membahasakan kisah penyensalan pemilik-pemilik kebun di kota Dhârâwân. Mereka yang kufur nikmat dikisahkan dengan bahasa yang santun dan lembut, tetapi menggigit.
﴿قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ ﴿٢٩﴾ فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ ﴿٣٠﴾ قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ ﴿٣١﴾ عَسَىٰ رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَا إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا رَاغِبُونَ ﴿٣٢﴾.
Tamsil kisah ini merupakan sindiran halus yang mengucilkan penduduk Mekah sebab kufur nikmat. Mereka diminta bersyukur, justru mengingkari. Diwajibkan mengikuti Rasulullah Saw, justru balik memeranginya.
Olehnya itu, mereka diazab tujuh tahun musim kemarau setelah mengusir Rasulullah Saw keluar dari kota Mekah ke Madinah.
Meskipun tamsil kisah ini begitu akrab di telinga mereka, apalagi dilihat dari geografis dataran Arab, di mana Mekah bertetangga dengan Yaman, tetapi itu tidak mengubah sedikit pun sifat-sifat jahiliah mereka yang memusuhi agama tauhid.
Kisah al-Qur’an ini seperti berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Mekah! Jangan ikuti kami yang kufur nikmat jika Anda tidak ingin ditimpa musibah yang serupa. Kami pendahulu Anda yang telah merasakan akhir yang pahit sebab kufur nikmat. Oleh karena itu, lihatlah kami sebagai pelajaran berharga dan bercerminlah di layar hidup kami yang melukiskan seribu satu penyesalan yang tidak berguna. Syukuri nikmat Allah dan jauhi kekufuran. Ikuti Nabi Allah, Muhammad Saw dan jangan memusuhinya. Niscaya kalian akan selamat.”
Di penghujung kisah ini, saya mengajak pemerhati tema-tema al-Qur’an menyuarakan kesimpulan berikut,
“Hindari penyesalan yang tidak berguna! Penyesalan yang hanya meninggalkan duka dan luka. Penyesalan pemilik-pemilik kebun di kota Dhârâwân yang meratapi kebun mereka dilahap si jago merah. Musuh nikmat adalah kekufuran yang akan mencabut atau menghanguskan nikmat itu sendiri. Sementara itu, sahabat nikmat adalah kesyukuran yang akan mengekalkan atau menambah berkahnya. Syukuri dan jangan kufuri! Anda akan jadi hamba yang berjaya dunia-akhirat.”



No comments:

Post a Comment